Kepingan 2 ^Fantasy^

(Inspiration : Song by Vixx - Fantasy)


     Apakah ini mimpi? Kenapa begitu nyata? Aku tidak bisa bangun dan tubuhku kaku. Mimpi ini mendorongku untuk lebih masuk dalam permainan.  Aku lelah, dan kehilangan arah. Tolong, bawa aku kemana saja. - Jeni

Langit tidak bersahabat, ia berwarna hitam pekat.
     Berdiri membuka mata, mengedarkan pandangannya ke segala arah, memastikan tempat apa yang tengah di kunjunginya. Melihat kondisi tubuhnya, yang berseragam lengkap. Dan melihat lurus kedepan. Disana, visi dan misi sekolah terpampang jelas, dan ia tersenyum lega. Mungkin, ini kisah remaja sekolah.
     Awalnya gadis itu melangkah riang,  tapi bau anyir memenuhi penciumannya. Ia melihat kelantai, mayat berserakan, mengenaskan.
     Ia tidak tau awalnya bagaimana, kejadian apa yang terlintas dihadapannya. Satu -  persatu temannya tergeletak tak berdaya dilantai dingin aula. Seolah kaset rusak yang berputar, adegan itu terus bermain. 
    Jeni ambruk, tepat pada lantai yang penuh darah. Hingga, ringisan terdengar dari mulutnya. Ia menimpa sesuatu, benda keras. Menengok ke arah kaki, Jeni merasakan ngilu yang amat terasa, jempol kakinya tertancap paku kecil dengan sempurna. 
    Gadis tersebut, berdiri syok, melangkah perlahan dengan kaki yang mengeluarkan darah. Menepuk pipinya perlahan, mengerjapkan mata, masih berpikir tidak nyata.
     Hingga retina nya, melihat pria asing menusuk jantung temannya. Dengan rasa terkejut, Jeni berlari keluar. Sang pria mengejarnya. 

Semua terlihat nyata, tidak ada celah untuk pergi.
     Jeni berlari secepat yang ia bisa meskipun peluh memenuhi keningnya. Tidak peduli pada  kaki yang lecet ataupun luka yang terus menyiksa, ia terus berlari. Gadis itu kebingungan dan tidak tau harus pergi kemana. Hanya ada satu jalan yang tidak mungkin orang lewati, dan itu sangat beresiko. Perlahan, perasaan takut menyergapnya. Keputusannya sudah bulat, ia hanya ingin menghindari serangan menyakitkan itu.
      Jeni  menengok kebelakang dan menemukan seseorang yang tengah mengejarnya. Tak menunggu waktu lagi, ia bergegas naik ke bukit. Pijakan ini terasa licin dan berisik. Ia mencoba untuk perlahan – lahan agar tidak mengundang perhatian orang tersebut. Sesekali menengok kebelakang dan terkejut akan pemandangan yang disajikan. Mayat yang terletak acak itu seperti hal yang biasa. Terbujur kaku tak bernafas.
      Seseorang berhasil menangkapnya, menarik pergelangan tangan kemudian menusukkan pisau pada sebelah kanan perut Jeni. Ia jelas ambruk dan oleng. Menahan rasa perih yang sangat menerjangnya. Darahpun mulai bercucuran ke tanah. Pria itu tersenyum tidak jelas sembari mengangkat pisau berlumuran darah. Celah itu dipakai Jeni untuk kabur. Gadis tersebut lari mencari kerumuman orang – orang berada. Ia kembali memutar arah, dan masuk ke ruang kelas diujung lorong, sontak pria tersebut mengikuti arahnya.
     “Hah! Kalian semua akan mati! Tidak ada satu orangpun yang akan bertahan” ujar pria tersebut menarik senyumannya, aneh dan menyeramkan. 
      Orang - orang yang berada di ruang kelas tersebut tiba – tiba ketakutan dan perlahan membaur menyembunyikan diri,  jadilah dua kubu yang saling berhimpitan satu sama lain. Berusaha tidak melakukan kontak mata dengan sang pria.
     “Darah? Kau tertusuk” ujar seseorang menepuk bahu Jeni. 
     “Hm,” jawabnya menahan perih. Ia terus memegangi perut itu, seolah berusaha menahan darah yang terus bercucuran. Wajahnya sudah pucat, badannya gemetar.
     “Je - ni?” Tanya seseorang, sontak Jeni membalikkan badannya kebelakang dan menemukan teman dekatnya sedang khawatir.

Harapan akan nampak, jika seseorang menginginkan nya.
      Jeni dan Raisa mengendap untuk pergi ke barisan paling kiri. Barisan yang paling mudah untuk pergi selagi sang pria lengah. Disana ada kaca jendela yang kapan saja bisa mereka pecahkan, kesempatan untuk melompat keluar.
      Dengan nekat, tanpa sakit. Jeni memecahkan kaca jendela itu, melompat keluar kelas dengan tergopoh - gopoh. Perhatian pria itu teralih padanya, dengan kekuatan yang ia punya Jeni berlari, meringis untuk luka di kakinya yang terkena pecahan kaca. Hingga ide gila didapatnya, mencabut pecahan kaca, lalu melempar tepat pada wajah pria itu. Teriakan ngilu terdengar, matanya refleks menutup. Dalam keadaan genting seperti ini, untung kaki nya bisa diajak bekerja sama. Berlari sekencang yang ia bisa, mempertahankan laju.
      Jeni terus berlari sembari memegang perutnya. Ia tersiksa akan luka yang ia dapat. Tidak bisa berjalan lagi dan terduduk lemas. Untung saja ia sudah ada di kawasan ‘Hutan Terlarang’. Dimana tidak ada seorangpun disana. Hanya ada ia dan mungkin binatang buas yang kapan saja akan menerkam tubuhnya.
     Jeni merogoh saku rok, dan menemukan sapu tangan miliknya. Menekan luka tusukan, membuat sapu tangan itu sukses berlumuran darah amat pekat. Sesekali mulutnya mengeluarkan desisan, ngilu.
      Dari arah perpohonan, cahaya biru menghampiri Jeni yang terlihat lemah. Jeni menutup sebelah matanya, melihat hal itu refleks ia berdiri. Mengikuti arah cahaya, walaupun ia tidak tau akan dibawa kemana. Yang jelas, saat ini ia sangat butuh pertolongan dan menderita. Dengan tanpa sengaja, Jeni memegang cahaya tersebut, tiba – tiba sosok wanita berlapiskan es berdiri dihadapannya, dan menatap Jeni.
     “Hanya orang yang punya keberanian lebih untuk pergi ke hutan ini.” Ujar wanita itu, tersenyum sangat tipis tapi mampu membuat Jeni berkedip seolah terhipnotis.
     “Kau si-a-pa?” Tanya Jeni menunjukkan raut wajah ketakutan yang amat ketara. Karna bisa saja wanita didepannya adalah sosok yang bersengkokol dengan pria yang tadi mengejar.
     “Aku Ratu Alice, pemilik hutan ini. Dan sepertinya kau terluka? Apa kita perlu mengobatinya?” Tanya Ratu Alice seraya menyodorkan tangannya kearah perut sebelah kanan Jeni.

Pertolongan akan datang, jika seseorang membutuhkannya.
     Istana itu terlihat kotor dan mengerikan. Pasti orang mengira, istana ini tidak berpenghuni dan tidak layak untuk di tempati. Tapi, seolah ada keajaiban istana itu berubah saat Ratu Alice masuk. Kontras sekali, menjadi istana yang sangat bersih dan indah. Keajaiban yang tidak bisa ditangkap oleh manusia biasa seperti Jeni.
     “Ayo masuk, aku akan mengobati lukamu.” Ujar Ratu Alice, ia masuk kedalam istana. Mempersilakan Jeni untuk masuk.
     Jeni menatap sekeliling dan terlihat takjub akan interior Istana. Pilar – pilar tinggi terpampang jelas dan kokoh, serta bunga – bunga yang dibuat sedemikian rupa menghiasi dinding istana. Lukisan di setiap sudut pun ikut andil dalam memperindahnya.
     “Duduklah disini, saya akan mengambil obat untukmu.” Ujar Ratu Alice ramah, diakhiri senyuman.
     Jeni masih tetap memandang Istana, merasa tidak asing dan terdapat rasa hangat yang menjalar dalam hatinya. Ratu Alice tiba sembari membawa obat yang dibutuhkan untuk Jeni.
     “Ini akan sakit jadi tahanlah sebentar.” Ujar Ratu Alice mulai mengobati luka tusuk di perut Jeni. Membuka sapu tangan, dan melihat luka. Tersayat cukup panjang. 
     “Apa disini hanya ada Ratu? Saya tidak melihat orang lain selain Ratu. Istana ini luas untuk ditempati sendiri. Ah, maaf saya berkata lancang.” Jelas Jeni. Ia menutup mulutnya, menepuk beberapa kali. 
     “Tidak, disini banyak orang, mereka sedang ada di belakang. Karna ini ruang utama, maka tidak ada yang bisa dilakukan di tempat ini. Jika kau tidak percaya, mari kita berkeliling Istana.” Jawab Ratu Alice, mengakhiri pengobatannya.
     “Bolehkah?” Tanya Jeni. Ia sudah tidak merasa ngilu lagi, seolah luka itu tidak ada. Menatap mata Ratu Alice dengan sumringah.

Jangan pernah percaya pada keindahan sesaat dan pertolongan orang asing.
     Jeni berkeliling istana, ia terus menatap kagum. Lingkungan istana sangat mewah dan elegan. Suara burung bahkan menemani langkah terseoknya. Gemerisik air pun tak luput di pendengarannya.
     Ratu Alice menghampiri Jeni dan menepuk pundaknya. Jeni menoleh kebelakang,  ia terkejut bukan main, keadaan di sekitarnya menjadi suram dan kelam. Tidak ada sorot kekaguman lagi dimatanya. Jeni dilanda ketakutan.
     Ratu Alice yang menyadari perubahan raut muka Jeni hanya tersenyum sinis. Tatapan ramahnya terganti dengan smirk yang menakutkan. Memiringkan kepalanya ke sisi kanan. Jenie membalikkan tubuhnya, mencoba kabur dari istana. Ia terlonjak kaget. Di depannya, banyak mayat tergeletak bersimbah darah. Bau anyir menyebar dimana - mana. Rasa mual datang, dan memaksa Jeni mengeluarkannya. Jeni tertipu.
     Luka diperutnya terasa ngilu kembali. Ia memaksa kakinya untuk berlari, secepat mungkin. Jeni menoleh kebelakang, terlihat Ratu Alice mengangkat tinggi senapan. Air mata yang sejak tadi ditahan, kini jatuh perlahan. Jeni menangis, dan tidak tahu harus berbuat apa. Yang ia inginkan kabur dan terbangun dari kejadian ini. Beberapa kali, ia menginjak tubuh mayat.
     Hingga setitik cahaya menyadarkannya. Jeni tersenyum, masih dengan setengah berlari. Ia mencoba mengapai cahaya itu. Yang ia pikirkan sekarang adalah kabur, ia sudah pasrah. Tapi waktu tidak berpihak padanya.
     'Dor' peluru itu tepat sasaran, mengenai kaki kiri Jenie. Ia meringis kesakitan, perih. Peluru itu sedikit demi sedikit membelah daging kakinya. Larinya terhambat.
    'Bruk', Jeni ambruk. Tidak kuat menahan rasa sakit di kaki dan juga perutnya. Kaki kirinya terlihat mengenaskan dengan aliran darah yang keluar seperti saluran air. Dalam setengah sadarnya, Jeni masih bisa melihat, Ratu Alice menghampirinya, dengan senapan setia ditangan kanannya. Berjongkok dan memandang keadaan Jeni.
      "Gadis malang. Jangan percaya begitu saja oleh keindahan yang ada." ujar Ratu Alice, penuh penekanan di setiap katanya. Ratu Alice menodongkan senapan ke arah kepala Jeni. Perlahan menempatkan jarinya pada pelatuk.
Ratu Alice tersenyum miring, "Selamat tinggal! Gadis bodoh!"
     'Dor’ Kepala Jeni sudah hancur, matanya menitikkan air mata.

Ingatlah sekecil apapun hal itu.
      'Hosh hosh' gadis itu terbangun dari tidurnya. Rasa takut menyergapnya. Kejadian itu terasa begitu nyata. Jeni menangis perlahan, dan wanita paruh baya membuka pintu kamarnya.
     "Mimpi buruk nak?" tanya ibu Jeni. Mengusap pelan kepala Jeni, menepuk punggungnya.
     "Kejadian nya sangat nyata. Aku tidak bisa membedakannya." jawab Jeni masuk ke pelukan ibu nya.
     Wanita itu balik memeluk Jeni, dan mengusap punggungnya, tersenyum sangat menakutkan.
 
~Fantasy~

      Ini hanya fantasi, rasa sakit datang seperti duri. Fantasi ini memelukku dan aku ingin menghentikannya. Tragedi, jika hanya ada satu jalan. Tolong, selamatkan aku!

Comments

  1. Penuturannya semakin keren.. jadi pada akhirnya itu adalah mimpi yang panjang dan mengerikan

    Ide ceritanya menarik dan makin berkembang ☺

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe, terimakasih.
      Ya, mimpi, seperti lucid dream gituuu

      Terimakasih

      Delete
  2. Penuturannya semakin keren.. jadi pada akhirnya itu adalah mimpi yang panjang dan mengerikan

    Ide ceritanya menarik dan makin berkembang ☺

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kepingan 1 ^That Day^